Tunjangan Perumahan DPR 50 juta/bulan: Pilihan Meninggalkan Rumah Dinas demi Kompensasi Tunai

22 Agustus 2025

The article in English is not yet available.

22 August 2025

Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia menanggapi pernyataan Ketua DPR terkait tunjangan perumahan anggota DPR. Pernyataan tersebut menyebut bahwa tunjangan sebesar Rp50 juta per bulan diberikan sebagai kompensasi karena anggota DPR tidak lagi menempati rumah dinas.

Dari pernyataan ini menghadirkan fenomena menarik: anggota DPR secara strategis memilih meninggalkan rumah dinas untuk mendapatkan tunjangan tunai yang lebih menguntungkan. Keputusan ini menunjukkan bahwa tunjangan tidak sekadar kompensasi formal, melainkan insentif ekonomi yang memengaruhi perilaku anggota DPR yang lebih mementingkan uang tunai dalam bentuk tunjangan dibandingkan memanfaatkan aset negara (rumah dinas) yang sudah ada.

KOPEL Indonesia mencatat beberapa implikasi dari praktik ini:
1.    Ketimpangan Akses dan Manfaat Aset Publik
Rumah dinas, sebagai aset negara yang seharusnya mendukung fungsi legislatif sekaligus publik, kini sebagian besar tidak dimanfaatkan. Alih-alih ditempati, aset negara “ditukar” dengan tunjangan tunai Rp50 juta per bulan, yang masuk ke kantong pribadi legislator.

2.    Jarak Kesejahteraan antara Legislator dan Publik
Tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta jauh melebihi pendapatan mayoritas rakyat, misalnya upah minimum provinsi yang hanya berkisar Rp3–4 juta. Pilihan meninggalkan rumah dinas demi tunjangan tunai ini memperkuat kesenjangan ekonomi antara legislatif dan konstituen, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang prinsip representasi demokratis.

3.    Implikasi terhadap Transparansi dan Akuntabilitas Publik
Mekanisme kompensasi ini menimbulkan kebutuhan mendesak akan transparansi: sejauh mana tunjangan ini proporsional dengan fungsi legislatif dan kontribusi terhadap kesejahteraan publik? Tanpa regulasi yang jelas, aset publik berpotensi berfungsi sebagai sumber keuntungan pribadi, bukan sebagai fasilitas untuk mendukung efektivitas legislatif maupun kepentingan konstituen.

KOPEL Indonesia menegaskan bahwa demokrasi yang sehat menuntut keseimbangan antara hak legislator dan kewajiban terhadap rakyat. Praktik meninggalkan rumah dinas demi tunjangan tunai menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan kompensasi legislatif, agar mekanisme tunjangan tidak hanya menguntungkan legislatif, tetapi sejauh mana  tunjangan tersebut berkorelasi dengan kepentingan public tugas-tugas dan fungsi DPR.

“Rakyat membiayai tunjangan ini melalui pajak, sehingga setiap kebijakan terkait tunjangan dan aset negara harus diawasi secara ketat agar sejalan dengan tujuan kesejahteraan publik,” tegas Herman ketua KOPEL Indonesia.

“Memangnya anggota DPR itu tak punya rumah? apa jaminan anggota DPRD rajin ikut rapat karena uang 50 juta itu digunakan ngontrak rumah dekat senayan sehingga tidak lagi ada keterlambatan ikut rapat”, lanjutnya.

KOPEL Indonesia menyerukan agar DPR meninjau ulang mekanisme kompensasi agar aset negara benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan hanya sebagai insentif ekonomi pribadi bagi anggota DPR.

Kontak Person:
Andi Fadli Ahmad 081343794410