TIPU-TIPU WAKIL RAKYAT KITA Tunjangan Perumahan Rp. 50 Juta Dibatalkan, Rp. 702 Juta Disulap Seketika

14 Oktober 2025

The article in English is not yet available.

14 October 2025

by: Herman Kajang (KOPEL Indonesia)


Di negeri yang katanya demokrasi ini, reses bukan lagi sekadar jeda kerja. Ia sudah menjelma jadi musim panen—bukan panen padi, tapi panen dana. Setiap tahun, empat kali musim itu datang. Empat kali para wakil rakyat “turun ke daerah,” empat kali pula rekening mereka naik ke langit.

Sekali reses, masing-masing anggota DPR membawa pulang Rp702 juta. Tidak lebih, tidak kurang. Jika reses dilakukan empat kali dalam setahun, jumlahnya jadi 2,8 miliar rupiah per kepala. Luar biasa, bukan? Di negeri di mana banyak rakyat masih menambal atap bocor dengan plastik bekas, wakil mereka justru menambal “aspirasi” dengan miliaran rupiah.

Dulu, pada Januari sampai April 2025, mereka masih menerima Rp400 juta per reses. Hidup sederhana, katanya. Namun sekarang, negara mendadak dermawan—naik jadi Rp702 juta per reses. Alasannya klasik: “biaya kegiatan meningkat.” Mungkin karena harga nasi kotak aspirasi sudah setara dengan tiket umrah.

Rakyat tentu masih ingat, beberapa waktu lalu DPR sempat heboh karena tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan. Gelombang protes pun datang, rakyat marah besar. Pemerintah akhirnya mengumumkan pembatalan tunjangan itu, seolah-olah mendengarkan suara rakyat. Tapi ternyata, yang dibatalkan cuma nama. Isinya pindah rumah—dari pos “tunjangan perumahan” ke “dana reses.” Dari luar tampak berbeda, tapi kalau dibuka, aromanya sama: aroma uang rakyat.

Kini, reses menjadi ritual agung. Para wakil rakyat turun ke Dapil seperti dewa-dewa turun dari langit, membawa amplop berisi janji dan senyum beraroma dana segar. Di spanduk, tertulis “Serap Aspirasi Rakyat.” Tapi yang lebih banyak diserap justru anggaran negara.

Aspirasi rakyat? Mungkin cukup diserap lewat jabat tangan singkat di acara seremonial, ditemani nasi kotak dingin dan foto bareng untuk dokumentasi. Setelah itu, laporan kegiatan pun dibuat rapi—dilengkapi tanda tangan lurah, stempel basah, dan kwitansi yang selalu pas jumlahnya.

Lucunya, ketika rakyat mempertanyakan mengapa angka reses begitu besar, jawabannya selalu manis: “Sesuai aturan.” Dan siapa pembuat aturan itu? Ya, mereka juga. Di negeri ini, anggota DPR tak hanya membuat undang-undang, tapi juga menciptakan logika baru: semakin sering “turun ke rakyat”, semakin tinggi nominal yang dibawa pulang.

Coba kita bayangkan sejenak: satu anggota DPR, empat kali reses, total Rp2,8 miliar setahun. Dengan jumlah anggota 575 orang, berarti negara menggelontorkan lebih dari Rp1,6 triliun hanya untuk mendanai “serap aspirasi.” Dengan dana sebesar itu, sebenarnya kita bisa membangun ratusan sekolah, memperbaiki ribuan rumah rakyat miskin, atau bahkan menghapus sebagian utang mahasiswa. Tapi tampaknya, bagi para wakil kita, yang paling penting diserap bukan aspirasi, melainkan anggaran.

Di desa-desa, rakyat masih sibuk berjuang dengan BLT, bansos, dan janji-janji yang datang setiap lima tahun. Di Senayan, para wakil sibuk menghitung reses ke berapa yang sedang berjalan. Ada yang memanggilnya masa kerja, ada juga yang lebih jujur menyebutnya: masa kerja keras menghitung nol di rekening.

Sungguh, reses kini bukan lagi jeda dalam kerja parlemen. Ia sudah berubah menjadi pesta tahunan yang diulang empat kali. Setiap kali rakyat makin terdesak, angka reses justru makin fantastis. Dan seperti biasa, semua ini dibungkus dengan kalimat suci: “Demi kesejahteraan rakyat.”

Padahal rakyat yang mana, tidak pernah jelas. Sebab dalam setiap reses, yang tampak sejahtera hanya satu pihak — mereka yang sedang duduk di kursi empuk, tersenyum, sambil menandatangani laporan kegiatan dengan tinta yang sama: tinta dari uang rakyat.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti percaya pada kata “wakil” bila yang diwakili hanyalah kepentingan dompet sendiri. Di tengah rakyat yang bergelut dengan harga beras, listrik, dan biaya pendidikan, mereka justru bergelimang fasilitas dan dana miliaran. Tapi negeri ini belum sepenuhnya mati rasa—masih ada suara yang bisa mengguncang kursi empuk di Senayan, suara dari dapur-dapur yang sunyi, dari sawah yang retak, dari rakyat miskin yang lapar-suara perlawanan. Suara itulah yang kelak akan mengingatkan mereka bahwa kekuasaan bukan tempat berpesta, melainkan amanah yang lahir dari penderitaan rakyat. Dan bila suara itu bersatu, mungkin untuk ke sekian kalinya, mereka akan benar-benar mendengar bila mereka masih punya Nurani.