Oleh: Herman - Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia
Sejak Pemilu beberapa bulan lalu usai, beberapa daerah sudah seperti reality show yang penuh drama. Para calon anggota DPRD telah melewati ujian berat: menghadapi pemilih, mencium bayi yang entah siapa orang tuanya, dan tentu saja, berjanji setinggi langit. Sekarang, setelah berbulan-bulan menebar senyum di baliho yang bergelantungan di pohon-pohon pinggir jalan, mereka siap menduduki kursi empuk yang sudah lama mereka impikan. Moment itu sangat dinanti-nantikan. Apa itu? Ya, apa lagi kalau bukan pelantikan. Tapi, pelantikan ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah momen penting di mana impian rakyat akan direalisasikan—atau setidaknya, itulah harapan besar semua orang.
Saat ini, beberapa daerah - hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Gedung DPRD, yang biasanya sepi kecuali saat rapat paripurna, mendadak riuh dengan kehadiran para tamu undangan. Karpet merah digelar, kilatan kamera siap mengabadikan momen sakral, dan di depan pintu masuk, barisan anggota DPRD yang baru terpilih tampak sibuk merapikan jas mereka—tentu saja, jas yang baru saja diambil dari penjahit kenamaan.
Pelantikan DPRD 2024 bukan sekadar seremoni biasa. Ini adalah puncak dari semua janji kampanye yang selama ini mereka jual ke publik. Tapi mari kita jujur, janji-janji ini sering kali terasa seperti gaun malam: indah dipandang, tapi mungkin tidak begitu nyaman dipakai sehari-hari.
Ketika hari pelantikan tiba, para anggota DPRD baru tampak gagah dalam balutan jas dan pakaian terbaik mereka. Di depan Ketua Pengadilan, atas nama Tuhan YME dan di atas kitab suci, mereka mengucapkan sumpah/janji jabatan. Sumpah ini tentu saja mengandung makna yang dalam: berjanji untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, memperjuangkan kepentingan rakyat, dan tidak akan menyalahgunakan jabatan. Tapi, siapa yang akan benar-benar memegang janji ini? Yah, hanya waktu yang bisa menjawabnya—atau mungkin, hanya para konstituen yang masih percaya pada kata-kata manis itu.
Bagi sebagian orang, sumpah ini hanyalah ritual tahunan, seperti memotong kue ulang tahun. Mengucapkannya pun seperti sudah hafal di luar kepala, meski kadang harus dibaca dari teks yang sudah disediakan. Yang penting, semuanya harus terlihat khidmat dan serius, setidaknya untuk satu hari pelantikan ini.
Setelah pelantikan, tibalah saatnya para anggota DPRD yang baru dilantik untuk "beraksi." Tapi, jangan salah paham. Bukan berarti mereka langsung sibuk membuat kebijakan atau turun ke lapangan untuk bertemu rakyat. Yang pertama dan terpenting, tentu saja, adalah rapat-rapat internal untuk menentukan siapa yang jadi ketua fraksi, siapa yang duduk di komisi mana, dan alat-alat kelengkapan DPRD linnya, serta yang paling penting bagi mereka: siapa yang mendapat jatah kendaraan dinas baru.
Rakyat mungkin berpikir bahwa dengan dilantiknya para anggota DPRD ini, segala masalah di daerah akan segera teratasi. Sayangnya, seringkali yang terjadi adalah sebaliknya. Waktu lebih banyak dihabiskan untuk rapat-rapat panjang (dan kadang tak berkesudahan) yang membahas hal-hal administratif ketimbang substansi. Sementara itu, masalah-masalah mendesak di daerah, seperti infrastruktur rusak, layanan publik yang buruk, atau pendidikan yang tertinggal, harus menunggu giliran untuk dibahas—kalau ada waktu.
Jujur, ketika baru menjadi Caleg, banyak yang bertanya, “Anggaran apa saja yang bisa dikelola jika menjadi anggota DPRD, apa itu Pokir anggota DPRD”? Saya langsung jawab, “Tidak ada anggaran yang bisa dikelola anggota DPRD. Semua anggaran ada di organisasi perangkat daerah. Anggota DPRD hanya membahas dan menyetujui atau tidak menyetujui usulan anggaran yang diajukan Kepala Daerah. Itulah fungsi otorisasi anggota DPRD”. Memang fungsi penganggaran menjadi salah satu tugas utama DPRD. Tapi, lagi-lagi ini bisa menjadi medan tempur tersendiri. Pertanyaan yang sering muncul adalah: bagaimana memastikan anggaran benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk proyek-proyek yang hanya menguntungkan segelintir orang!
Anggota DPRD memiliki kewenangan untuk menentukan ke mana aliran dana APBD. Tentu saja, prioritas harus diberikan pada kebutuhan rakyat. Namun, entah kenapa, proyek-proyek "penting" seperti renovasi gedung DPRD, perjalanan dinas, studi banding atau pembangunan monumen yang entah untuk siapa sering kali muncul dalam daftar prioritas. Bukan rahasia lagi bahwa proyek-proyek ini kerap dikaitkan dengan berbagai "keuntungan tambahan" bagi yang terlibat.
Rakyat berharap banyak dari para wakilnya di DPRD. Mereka ingin perubahan nyata, bukan sekadar janji-janji manis. Tapi, kenyataannya, anggota DPRD sering kali lebih sibuk dengan urusan internal mereka ketimbang memperhatikan aspirasi rakyat.
Namun, tidak semua anggota DPRD seperti itu. Ada juga yang benar-benar bekerja keras untuk membawa perubahan. Tapi, sayangnya, mereka sering kali terjebak dalam sistem yang sulit diubah. Mungkin karena itu, tidak heran jika banyak rakyat yang mulai kehilangan kepercayaan pada institusi ini.
Meski dengan segala sinisme ini, harapan masih ada. Masyarakat Indonesia telah menunjukkan berkali-kali bahwa mereka mampu membawa perubahan, terutama ketika mereka bersatu. Para anggota DPRD yang baru dilantik memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka memang layak dipercaya, bahwa mereka bisa menjadi agen perubahan yang sebenarnya.
Tentu saja, semua itu kembali pada diri mereka sendiri. Apakah mereka akan menjadi pahlawan yang membawa kemajuan bagi daerahnya? Atau hanya menjadi bagian dari siklus yang sama, mengulangi kesalahan yang sudah terjadi sebelumnya? Jawaban atas pertanyaan ini masih harus kita tunggu, sambil melihat apakah kursi empuk di gedung DPRD akan membawa mereka lebih dekat ke rakyat, atau justru semakin menjauh dari rakyat.
Makassar, 20 Agustus 2024