by: Herman Kajang
Kemarin, hukum tampil di depan kamera, halaman Kejaksaan Agung tampak seperti panggung acara besar. Acara resmi yang lebih mirip perayaan daripada penegakan hukum. Ada kamera, mikrofon, dan para pejabat dengan pakaian rapi. Bukan untuk wisuda atau peringatan kemerdekaan, tapi untuk seremoni pengembalian uang hasil korupsi — nilainya belasan triliun rupiah.
Gunungan uang disusun rapi seperti monumen kemenangan. Seorang pejabat berbicara di podium dengan nada tegas dan berwibawa, “Ini bukti hukum bekerja. Negara kuat. Rakyat harus bangga.”
Dan, seperti biasa, rakyat memang diajak bangga. Bangga karena uang yang sempat dicuri sudah kembali. Bangga karena ada acara besar, disiarkan di televisi, dengan wajah-wajah serius dan kata-kata manis. Bangga karena semua tampak begitu tertib dan heroik — seolah keadilan sedang menang.
Padahal, kalau dipikir-pikir, apa yang sebenarnya sedang kita rayakan?
Korupsi bukan hal baru di negeri ini. Ia datang silih berganti, seperti musim hujan yang sudah bisa diprediksi. Bedanya, hujan menyuburkan tanah, sedangkan korupsi menyuburkan kantong orang tertentu.
Setiap kali ada kasus besar, kita tahu ceritanya akan sama: uang mengalir, terbongkar, disidik, lalu sebagian dikembalikan. Dan setiap kali uang itu kembali, kita menggelar seremoni besar — dengan senyum, pidato, dan tepuk tangan.
Lucunya, acara pengembalian itu sering lebih megah daripada upaya pencegahannya. Uang yang dulu keluar lewat jalan belakang, kini masuk lagi lewat pintu depan, disambut kamera dan sambutan resmi. Semua bangga. Semua berfoto. Semua lupa bertanya: kenapa uang itu bisa hilang dari awal?
Yang kita saksikan bukan penegakan hukum, tapi semacam drama kebanggaan nasional. Sebuah acara yang memberi kesan bahwa negara tegas, padahal hanya sedang menambal kesalahan yang sering terjadi.
Kita seperti rumah yang bocor, tapi setiap kali berhasil menampung air hujan yang menetes, kita bikin pesta. Bangga bukan karena atapnya diperbaiki, tapi karena embernya masih kuat menampung air.
Di warung kopi, saya dengar orang bercanda, “Hebat juga, ya. Uang hasil korupsi bisa kembali. Kalau begini, mencuri sebentar mungkin tak apa — asal nanti dikembalikan dan difoto bareng pejabat.”
Yang lain menimpali, “Iya, asal bawa kamera, biar kelihatan menyesal.”
Tawa pun pecah. Ringan, tapi getir.
Begitulah rakyat di negeri ini — sudah terlalu sering menonton drama, sampai akhirnya ikut hafal alur ceritanya. Kita tahu siapa yang akan berperan jadi “penegak hukum,” siapa yang akan jadi “penyesal,” dan siapa yang akan berdiri paling depan saat tepuk tangan terakhir.
Kita memang suka pada hal-hal yang bisa dirayakan. Keadilan, kalau bisa, juga harus punya panggung, kamera, dan spanduk. Padahal, keadilan sejati tak perlu tenda putih dan mikrofon; ia cukup hidup dalam sistem yang benar, dalam pengawasan yang ketat, dan dalam rasa malu yang masih bekerja.
Tapi rasa malu kini sudah langka. Yang tersisa adalah rasa bangga — bahkan pada hal-hal yang seharusnya membuat kita menunduk.
Bayangkan, uang hasil korupsi dikembalikan saja bisa jadi pesta nasional. Padahal, uang itu milik rakyat — sudah seharusnya kembali tanpa tepuk tangan. Kita seharusnya marah, bukan terharu. Kita seharusnya menuntut perbaikan sistem, bukan memuji cara mengembalikan barang curian.
Namun di negeri ini, semuanya bisa jadi tontonan. Dosa bisa tampak mulia, asal diucapkan di depan kamera. Kesalahan bisa berubah jadi kebanggaan, asal dikemas dengan acara resmi.
Saya kadang berpikir, kalau begini terus, mungkin suatu hari nanti kita benar-benar akan punya Museum Pengembalian Uang Negara. Isinya foto-foto tumpukan uang, pejabat berjas yang tersenyum, dan spanduk besar bertuliskan “Bukti Hukum Bekerja.” Di sudut ruangannya ada tulisan kecil yang lebih jujur daripada seluruh pidato di televisi, “Bangsa ini pandai merayakan hal-hal yang seharusnya dicegah.”
Dan rakyat akan datang ke museum itu, melihat lembar demi lembar uang yang pernah hilang,
lalu pulang sambil berkata, “Luar biasa. Negara kita benar-benar hebat.”
Padahal, yang hebat bukan negaranya — tapi kemampuannya membuat kita bangga pada hal yang seharusnya membuat kita malu.
Mungkin yang paling kita butuhkan kini bukan seremoni, tapi keheningan. Bukan kamera, tapi cermin. Agar kita berani menatap wajah sendiri dan bertanya: mengapa kita bisa tersenyum di atas kesalahan yang seharusnya membuat kita menunduk? Keadilan sejati tak datang dengan spanduk dan sorotan lampu, ia lahir dari hati yang masih tahu malu, dan bangsa yang berani berhenti berbangga pada apa yang mestinya disesali.