Dalam teori politik klasik, demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, praktik demokrasi di Indonesia tampaknya menemukan definisi baru: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, tetapi untuk kesejahteraan legislatif. Disparitas gaji antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan mayoritas rakyat adalah bukti paling telanjang.
Baru saja diumumkan kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR. Anggota DPR menerima gaji dan tunjangan lebih dari Rp100 juta per bulan. Bandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP) sekitar Rp3–4 juta, yang bahkan seringkali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok paling dasar. Maka, wajar bila pertanyaan akademis yang muncul adalah: apakah DPR mewakili rakyat, atau justru hanya mewakili dirinya sendiri di hadapan rakyat?
Struktur penghasilan DPR menunjukkan bahwa gaji pokok hanyalah formalitas kecil, sekitar Rp4–5 juta. Nilai ini bahkan lebih rendah dari sebagian eksekutif perusahaan swasta. Tetapi keajaiban sebenarnya terletak pada daftar tunjangan yang panjang dan menggiurkan. Ada tunjangan kehormatan, komunikasi, listrik, telepon, transportasi, hingga perumahan yang nilainya mencapai puluhan juta. Hasil akhirnya: total kompensasi legislator melesat ke angka Rp105–110 juta per bulan.
Tunjangan beras saja mencapai Rp12 juta. Dengan asumsi harga beras Rp15.000 per kilogram, seorang legislator bisa membeli 800 kilogram beras per bulan. Jumlah itu cukup memberi makan satu RT, namun ironisnya hanya tercatat sebagai tunjangan pribadi.
Tunjangan listrik Rp3,5 juta per bulan memberi kesan bahwa rumah seorang legislator setara dengan gedung perkantoran. Tunjangan telepon Rp4,2 juta per bulan seakan menegaskan bahwa komunikasi mereka tidak sekadar menyambungkan suara, tetapi mungkin juga membuka “portal dimensi” yang bisa menghubungkan satu dimensi dengan dimensi lain: dari dunia nyata ke dunia paralel, atau komunikasi ke alam gaib, atau dari satu waktu ke masa lain.
Sementara itu, tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan memperlihatkan bahwa “rumah rakyat” yang mereka maksud jelas berbeda definisinya dengan rumah rakyat pada umumnya: bagi legislator, rumah berarti apartemen mewah di pusat kota; bagi rakyat, rumah berarti kontrakan sempit dengan atap bocor.
Ini sebuah paradok representasi. Secara teoritis, wakil rakyat seharusnya merepresentasikan kondisi sosial konstituennya. Namun, representasi di Indonesia tampaknya bekerja terbalik: rakyat yang justru diminta beradaptasi dengan kenyataan hidup legislator. Rakyat diingat saat pemilu, dijanjikan kesejahteraan, difoto dalam baliho, dan didekati dengan senyum manis. Setelah itu, representasi berubah menjadi narasi simbolik: rakyat ada di pidato, tapi tidak dalam daftar penerima tunjangan.
Dengan gaji yang fantastis, DPR seakan lebih sibuk mewakili kebutuhan finansial dirinya sendiri. Mereka hadir di ruang sidang bukan sekadar untuk memperjuangkan suara rakyat, tetapi juga untuk mengukuhkan status sosial sebagai kelas penguasa baru. Representasi rakyat akhirnya hanya menjadi bahasa retoris dalam kertas kerja parlemen, tidak pernah menjelma menjadi kenyataan di meja makan rakyat kecil.
Fenomena ini mengantarkan kita pada demokrasi kelas atas. Biaya yang dikeluarkan negara untuk “memelihara” wakil rakyat begitu tinggi, namun manfaat yang dirasakan rakyat begitu rendah. Pajak yang dikumpulkan dari pedagang kecil, buruh pabrik, petani, dan nelayan mengalir deras untuk membiayai fasilitas wakil rakyat—mulai dari mobil dinas hingga perjalanan luar negeri yang disebut “studi banding”, tetapi sering berakhir sebagai wisata terselubung yang hasilnya hanya foto di Instagram.
Demokrasi di Indonesia akhirnya menjelma sebagai teater mewah. Rakyat hadir sebagai penonton yang membayar tiket melalui pajak. Mereka duduk di kursi ekonomi, menonton lakon berjudul “Aspirasi Rakyat” yang dimainkan aktor-aktor parlemen. Di balik layar, para aktor menikmati jamuan istimewa, lengkap dengan gaji, tunjangan, dan fasilitas yang tidak akan pernah disentuh oleh penonton.
Kesimpulannya, gaji DPR tidak sekadar angka, tetapi simbol ketidakadilan struktural. Anggota DPR hidup dalam kesejahteraan superlatif, sementara rakyat harus mengencangkan ikat pinggang. Demokrasi yang seharusnya menghadirkan kesetaraan justru menegaskan jurang perbedaan.
Di Indonesia, menjadi rakyat berarti belajar sabar menghadapi harga sembako yang naik, listrik yang mahal, dan biaya pendidikan/kesehatan yang mencekik. Sebaliknya, menjadi wakil rakyat berarti belajar kaya—bukan dari usaha di pasar bebas, melainkan dari tunjangan resmi yang dilegalkan undang-undang.
Demokrasi kita, pada akhirnya, lebih mirip sebuah ironi akademik: rakyatlah yang memilih, tetapi wakil yang menikmati; rakyatlah yang bekerja keras, tetapi wakil yang mendapat tunjangan; rakyatlah yang diminta bersabar, sementara wakil sibuk menghitung honor tambahan.
by: HK