DBH Tersandera: “Penjarahan Terselubung”

07 Januari 2025

The article in English is not yet available.

07 January 2025

Oleh: Herman Kajang


Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan kembali mendapat sorotan tajam setelah kabar tak sedap mengenai Dana Bagi Hasil (DBH) tahun anggaran 2024 mencuat ke publik. Sebanyak Rp1,7 triliun yang seharusnya menjadi hak kabupaten/kota untuk mendukung pembangunan daerah, pelayanan publik, dan pengentasan kemiskinan, ternyata tak kunjung dibayarkan. 

Pada APBD 2024, Provinsi Sulawesi Selatan mengalokasikan anggaran Belanja Dana Bagi Hasil (DBH) yang cukup signifikan, yaitu sebesar Rp. 1.707.712.415.259,00. DBH ini direncanakan untuk disalurkan ke 24 kabupaten/kota di Sulsel, sebagai bentuk distribusi keuangan untuk mendukung pembangunan di daerah. Namun, yang menjadi masalah adalah dana tersebut tidak disalurkan sesuai dengan rencana, yang menimbulkan berbagai dampak negatif, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan ketidakadilan fiskal, tetapi juga menunjukkan bagaimana pengelolaan keuangan daerah dapat berujung pada ketimpangan dan ketidakpastian bagi pemerintah kabupaten/kota.

DBH Bukan Utang Pemprov tapi Hak Kab/Kota yang Harus Diterima

Dalam banyak pemberitaan di media, menyebutkan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) yang belum dibayarkan kepada pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan merupakan utang. Hal ini perlu diluruskan karena tidak sesuai dengan prinsip dasar pengelolaan keuangan daerah. DBH sebagai pendapatan transfer yang telah diatur dalam sistem keuangan negara dan daerah tidak boleh dipandang sebagai kewajiban atau utang, melainkan hak yang harus diterima daerah. DBH seharusnya dipahami sebagai hak pemerintah kabupaten/kota yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dan bukan sebagai pinjaman yang akan dilunasi. 

Pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) dari Provinsi ke kabupaten/kota mengacu pada prinsip pembagian pajak dan retribusi yang dihasilkan di daerah tersebut. Secara umum, Beberapa jenis pendapatan yang ditarik oleh pemerintah provinsi yang hasilnya dibagi kepada kabupaten/kota, antara lain mencakup beberapa jenis pajak, seperti Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Rokok, Pajan air permukaan dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).

Wajar jika Pemerintah Kota Makassar sering menghadapi masalah besar ketika Dana Bagi Hasil (DBH) tidak tersalurkan dengan baik. Pasalnya, jika melihat jenis pajak yang menjadi sumber DBH, Makassar merupakan daerah yang paling banyak menerima alokasi, terutama dari pajak kendaraan bermotor. Hal ini dikarenakan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di Makassar jauh lebih banyak dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, ketidaktersaluran DBH dapat memengaruhi anggaran daerah yang sangat bergantung pada penerimaan dari sektor ini.

Pemprov Telah Terima Pendapatan, Lalu Bagi Hasilnya ke Kab/Kota Lari Kemana?

Tidak tersalurnya DBH bukanlah persoalan administrasi, melainkan masalah keengganan (untuk tidak menyebut sebagai penggelapan) pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan atas bagi hasil pajak tersebut. Mengingat jenis pendapatan tersebut sudah dikantongi oleh Pemerintah Provinsi. Dimana jenis pendapatan ini sudah ditarik dari daerah kab/kota penghasil. Mengapa DBH dari jenis pajak tersebut tidak disalurkan hingga tahun anggaran berakhir? ini menjadi pertanyaan penting yang harus dijawab, bukan sekedar ngeles soal administrasi. 

Ketidaktersaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ke kabupaten/kota yang berhak menerima, menimbulkan pertanyaan serius terkait pengelolaan keuangan daerah. Pendapatan yang diterima oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dari kabupaten/kota, yang sesuai dengan kewenangannya di bidang pajak dan penerimaan lainnya, seharusnya dibagi hasilnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Dengan kata lain, apabila provinsi sudah menerima pendapatan dari daerah, hak daerah untuk memperoleh bagian dari pendapatan tersebut sangat jelas, dan tidak ada alasan untuk tidak menyalurkan bagi hasil tersebut.

Dalam hal ini, jika Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sudah menerima pendapatan dari pajak yang dipungut dari masing-masing kabupaten/kota, maka dana tersebut seharusnya segera dibagikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebab, pendapatan tersebut bukanlah milik pemerintah provinsi secara penuh, melainkan hanya sebagian yang menjadi hak mereka, sementara sebagian lainnya harus disalurkan kepada daerah penghasil sebagai bagian dari pembagian pendapatan. Dengan demikian, jika dana tersebut tidak disalurkan ke daerah penghasil yang seharusnya menerima bagi hasil, maka perlu dipertanyakan, kemana uang tersebut sebenarnya pergi?

Bangkrut, DBH Kab/Kota dipake untuk Belanja Derah

Masih ingat pernyataan PJ Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin bulan Oktober 2023?  Saat penyampaian kondisi anggaran Sulsel saat pidato pengantar nota keuangan dan rancangan peraturan daerah Sulsel tentang APBD 2024. Dalam rapat paripurna di DPRD Sulsel, Rabu (11/10-2023) PJ Gubernur Sulsel menganggap defisit anggaran Pemprov Sulsel yang saat itu mencapai Rp 1,5 triliun membuat daerah Sulsel bangkrut. Hal tersebut terjadi disebabkan perencanaan anggaran yang bermasalah selama bertahun-tahun pada masa pemerintahan gubernur sebelumnya. Anggaran belanja yang didesain tak sesuai dengan pendapatan.

Defisit anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terjadi ketika jumlah belanja lebih besar daripada jumlah pendapatan. Beberapa penyebab defisit APBD karena rencana belanja lebih besar daripada pendapatan atau dengan kata lain pendapatan daerah yang diterima kecil. Pemerintah daerah tidak mampu menghasilkan pundi-pundi keuangan masuk ke kas daerah dibandingkan dengan keseluruhan belanjanya. 

Pendapatan yang nyaris tak bergerak dari tahun ke tahun justru ditambah dengan utang daerah yang terus membengkak. Ironisnya, setiap tahun Pemprov Sulsel harus menyisihkan alokasi anggaran lebih dari Rp135 miliar hanya untuk melunasi cicilan pokok utang pertahun. Beban ini menjadi gambaran nyata betapa buruknya tata kelola keuangan daerah di Provinsi Sulsel.

Dalam kondisi demikian, pemanfaatan Dana Bagi Hasil (DBH) menjadi salah satu langkah yang dipilih oleh Pemprov Sulsel untuk menutupi kebutuhan belanja daerah. Perilaku Pemprov Sulsel ini bukan kali ini saja, pada tahun 2023 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan mengungkapkan asal muasal utang di Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang menyebabkan anggarannya defisit hingga disebut bangkrut oleh Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin karena dana DBH milik pemerintahan kabupaten/kota belum disalurkan. Akibatnya belanja transfer ke daerah membengkak sementara pendapatan minim akhirnya terjadi defisit anggaran. Untuk menutupi defisit tersebut Pemerintah Provinsi Sulsel harus menutupinya dengan utang. 

Jalan pintas untuk menambal anggaran belanja daerah dengan mengabaikan hak 24 kabupaten/kota atas DBH—yang notabene berasal dari pajak rakyat mereka sendiri—dibiarkan terabaikan begitu saja. Penyaluran yang seharusnya menjadi kewajiban utama justru dipandang sebelah mata, seolah-olah daerah-daerah tersebut hanyalah penonton dalam drama finansial Provinsi Sulsel.

Praktik ini tidak hanya mencederai kepercayaan antar pemerintah daerah, tetapi juga memperlihatkan wajah asli Pemprov Sulsel yang lebih memilih melanggengkan utang akibat DBH tak terbayarkan ketimbang memenuhi hak rakyatnya. Sampai kapan “penjarahan terselubung” ini dibiarkan?