by Herman
Di negeri ini, hiduplah seorang mantan pejabat besar yang dikenal dengan julukan "Sang Komandan." Sang Komandan, telah sukses mengubah kantor kementerian menjadi taman uang yang penuh pesona, dimana setiap lembar rupiah dan dolar tumbuh dengan sehat, seakan-akan disirami oleh anggaran negara yang tak pernah habis.
Karena cara bercocok tanamnya inilah, dulunya ia tokoh terpandang di ranah pertanian, kini menjadi bintang utama di panggung hukum. Ya, Sang Komandan bukan lagi sibuk mengurusi padi atau jagung, tapi menghitung tahun di dalam jeruji. Kali ini, bukan panen padi yang menunggu, melainkan vonis yang harus dijalani.
Mula-mula, para hakim menyapanya dengan hukuman sepuluh tahun. Tapi, apakah sepuluh tahun cukup untuk seorang tokoh yang katanya ahli dalam menghimpun "pundi-pundi"? Tentu tidak. Pengadilan banding memperberat hukumannya menjadi dua belas tahun. Mungkin agar Sang Komandan bisa punya lebih banyak waktu untuk merenung.
Dua belas tahun, angka yang mengesankan, mungkin. Tapi apakah ini cukup? Mungkin bagi sebagian orang, 12 tahun adalah lama. Tapi, bagi mereka yang sudah terbiasa hidup di ruang penuh privilege, 12 tahun hanyalah sekedar waktu istirahat panjang untuk menyusun strategi baru. Apalagi kalau ada opsi "subsider" yang membuat hukuman jadi semacam permainan teka-teki, dimana akhirnya, yang berduit selalu punya cara untuk keluar lebih cepat.
Yang menarik dari kasus ini bukan soal berapa lama Sang Komandan akan berlibur di balik jeruji, tapi soal uang pengganti. Bayangkan, uang pengganti yang harus dibayar mencapai Rp 44,27 miliar plus 30.000 dolar AS! Di negeri ini, uang sebanyak itu mungkin bisa menghidupi seluruh desa dan membangun sawah seluas mata memandang. Tapi entah bagaimana, Sang Komandan selalu terlihat tenang, seolah-olah angka-angka itu cuma nominal diskon belanja bulanan.
Baginya, itu hanya bagian dari investasi jangka panjang. Ia tahu, di negeri ini selalu ada angin segar berupa pemotongan hukuman atau pembebasan bersyarat yang akan datang tepat waktu. Dan kalau pun harus membayar uang pengganti, Komandan yakin, tak sulit baginya untuk "memanen" lagi di kemudian hari.
"Tak apa," kata Sang Komandan dalam hati, "ini hanya bagian kecil dari ladang yang pernah kutanam. Lagi pula, negeri ini kan punya tradisi panjang memaafkan koruptor, siapa tahu nanti ada 'diskon khusus' bagi tamu istimewa seperti aku."
Jadi, para pejabat dan penguasa yang tersandung kasus korupsi ratusan miliar hanya perlu menyiapkan uang pengganti dan berharap bebas bersyarat. Padahal korupsi itu sangat memiskinkan rakyat kecil. Bahkan ketika mereka yang miskin, sekadar menyenggol hukum pun sudah seperti menerima vonis seumur hidup—hidup dalam bayang-bayang ketakutan tanpa tahu kapan bisa merdeka.
Mungkin, di dunia ini, keadilan bukan hanya tentang hukum, tapi juga tentang akses. Akses bagi mereka yang punya uang, akses bagi mereka yang punya koneksi. Dan bagi yang miskin? Keadilan hanya seperti cerita dongeng, hal indah yang tak pernah bisa mereka sentuh, apalagi miliki.
Di warung-warung pinggir jalan, para tukang becak, pedagang asongan, dan buruh harian sering berbicara tentang mimpi-mimpi mereka. Mimpi tentang hidup yang lebih baik, tentang hukum yang adil bagi semua, tanpa memandang tebalnya dompet. Tapi mimpi itu, seperti kopi pahit yang mereka minum, hanya akan menguap bersama asap rokok yang mereka hisap perlahan.
Sementara itu, di gedung-gedung tinggi yang megah, para pejabat, politisi, penegak hukum dan pengacara berdebat tentang pasal dan denda, tentang berapa lama seorang tersangka bisa keluar dengan "baik-baik." Di sana, keadilan tampak seperti barang mewah, yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang tahu caranya.
Sang Komandan adalah orang terpandang yang punya banyak akses, punya banyak koneksi, bukan rakyat biasa yang hanya punya mimpi-mimpi. Tahu caranya bisa keluar baik-baik tanpa perlu sampai 12 tahun. Tapi, semoga ini tidak terjadi dan tidak dilakukan oleh Sang Komandan.
“Jalani saja Komandan dan banyaklah merenung”. Kita pun di luar ini masih bertanya-tanya, kapan keadilan akan turun dari singgasana mewahnya, berjalan ke pasar, dan menyeberangi jalan menuju kehidupan rakyat kecil? ... Sang Komandan adalah orang besar, besar skandalnya, besar juga jumlah uang yang harus diganti. Mungkin inilah mimpi keadilan rakyat kecil yang sedikit terobati dari kasus korupsi yang memiskinkan mereka.
Tapi apakah ini benar-benar adil? Entalah, sebab di negeri ini, keadilan juga seperti tanaman: ada yang tumbuh subur bagi segelintir penguasa/pejabat dan ada yang layu bagi kebanyakan rakyat kecil.
Sungguh, negeri yang penuh angan-angan.
Batua Raya, 10 September 2024