APBN 2026 DAN IRAMA BARU SENTRALISASI Pusat Menabuh Genderang, Daerah Disuruh Menari di Tanah Retak

10 Oktober 2025

The article in English is not yet available.

10 October 2025

Oleh: Herman Kajang (Dir.  KOPEL Indonesia) 

Ketika palu diketuk di Senayan, di banyak daerah palu itu terasa seperti pukulan. APBN 2026 resmi disahkan, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, daerah hanya bisa menunggu: berapa banyak yang tersisa untuk mereka? Tapi tahun ini berbeda. Pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) bukan hanya tajam — tapi brutal.

Saat RAPBN sementara dibahas di DPR,  saya pernah menulis, "RAPBN resmi menampar wajah daerah." Bukan karena tidak ada anggaran, tapi karena daerah dianggap cukup dengan kata “mandiri”, padahal tangan mereka terikat, dan kantong mereka dikosongkan.

Sekarang, tamparan itu bukan hanya terasa — tapi membekas. Daerah-daerah yang selama ini bertahan dengan PAD seadanya, tiba-tiba dipaksa berjalan tanpa tongkat. Beberapa bahkan harus merangkak.

Sebuah Parade Kekuasaan Fiskal

Tanggal 7 Oktober 2025, sebanyak 18 gubernur dari berbagai provinsi datang ke Kementerian Keuangan. Mereka bukan datang dengan tangan kosong, tapi dengan hati yang penuh beban. Anggaran provinsi mereka dipangkas hingga 30%, dan untuk beberapa kabupaten, lebih dari 70%.

Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, menyebut ini sebagai “pemiskinan fiskal”. Saya sepakat. Karena tidak ada istilah lain yang lebih tepat untuk menggambarkan bagaimana sebuah negara secara sadar mengosongkan kemampuan daerah untuk membangun — lalu menyuruh mereka tetap “berlari mengejar visi nasional”.

Sungguh ironi: diminta membangun, tapi tanpa dana. Diminta melayani, tapi tanpa logistik. Ini mimpi pusat tapi beban bagi daerah.

Gaji pegawai, tunjangan PPPK, proyek pusat — semua itu dilempar ke pundak daerah. Tapi anggaran untuk melaksanakannya ditarik pelan-pelan. Dalam dunia manajemen modern, ini disebut outsourcing kewajiban, tanpa transfer sumber daya.

Dan ketika daerah mulai goyah, pusat hanya menjawab: “efisiensi”. Saya tanya: efisiensi dari siapa? Untuk siapa?

APBN kita hari ini tampaknya lebih sibuk menjaga wajah pusat daripada menghidupi nadi daerah. Sungguh ironis, ketika pusat bicara “Indonesia sentris”, tapi perilakunya justru makin Jakarta sentris. Seolah-olah pembangunan itu hanya layak diturunkan ke mana anggaran mau pergi, bukan ke mana kebutuhan paling mendesak berada.

Padahal, saya selalu percaya: keadilan fiskal bukan berarti sama rata, tapi tepat sasaran.
Sayangnya, TKD kita hari ini bukan alat redistribusi, tapi justru jadi alat kontrol. Ketika pusat ingin semua daerah “mandiri”, tapi tidak memberi alat kemadirian,
maka yang lahir bukan otonomi, tapi penyerahan tanggung jawab tanpa peluru.

Pulang Tanpa Kepastian

Para gubernur kembali ke daerahnya. Mereka tidak membawa kabar baik. Tidak ada revisi. Tidak ada peninjauan ulang. Mereka hanya diminta “memahami kondisi fiskal nasional”.

Tapi rakyat di daerah tidak makan pemahaman. Mereka butuh jembatan. Butuh air bersih. Butuh sekolah dan Puskesmas.
Dan semua itu butuh satu hal: anggaran. Bukan alasan.

Kita terlalu lama terjebak dalam bayang-bayang sentralisasi. Ketika pusat kuat, kita merasa negara kuat. Padahal negara tidak dibangun dari pusat, tapi dari ujung desa yang lampunya masih padam, dari jalan rusak yang belum diperbaiki, dari guru honorer yang belum digaji, dan dari rumah sakit daerah yang kekurangan oksigen—bukan hanya karena pandemi, tapi karena kekeringan fiskal.

Saya tidak menulis ini untuk menyalahkan. Saya menulis ini untuk mengingatkan bahwa kita akan punya negara yang hanya berfungsi di ibukota dan sisanya, hanyalah republik yang menonton dari jauh.