by. Herman
Ribut! ..... Setiap kali pemilihan kepala daerah menjelang atau bahkan pemilihan presiden, perdebatan tentang ambang batas pencalonan muncul seperti jamur di musim hujan. Semua orang, dari politisi hingga pengamat, seakan mendadak berubah menjadi ahli statistik yang sibuk mengutak-atik angka. Ada yang sibuk menghitung persen suara, ada yang sibuk merumuskan koalisi, dan ada yang sibuk mencari celah dalam aturan. Ada DPR yang ingin mengubah UU dalam sekejap jelang pemilihan, ada yang ke MK untuk menguji UU yang dianggap inkonstitusional. Seolah-olah kita hidup dalam sebuah novel detektif di mana semua orang mencari kode rahasia untuk memenangkan pemilihan.
Tapi, di tengah semua kerumitan itu, muncul pertanyaan sederhana, apa sebenarnya gunanya ambang batas ini? Bukankah lebih baik menggantinya dengan sesuatu yang lebih nyata, lebih bisa dirasakan? Katakanlah, ambang pintu. Hehehe...... Kelihatan nyeleneh, tapi mari kita lihat ....!
Pintu, benda sederhana yang ada di setiap rumah. Tidak ada yang lebih jujur dan jelas daripada ambang pintu. Sebuah batas yang bisa dilihat, disentuh, dan tentunya dilalui. Kalau ambang pintu bisa dilalui dengan baik, berarti siap melangkah ke depan, siap memimpin. Tak perlu ribut soal persen suara, persentase kursi di DPR/D, atau berapa banyak dukungan partai yang harus dikumpulkan. Cukup lihat siapa yang bisa melompati ambang pintu tanpa tersandung—itu sudah lebih dari cukup.
Dan setelah semua calon berhasil (atau tidak berhasil) melewati ambang pintu, kita bisa dengan jujur mengatakan bahwa mereka sudah teruji. Mereka tidak hanya pandai berbicara, tapi juga tahu bagaimana cara menunduk dengan benar. Karena dalam politik, seperti dalam hidup, kadang yang terpenting bukan hanya berjalan maju, tapi juga tahu kapan harus menunduk agar tidak nabrak pintu.
Sistem ini bisa membawa perubahan besar dalam dunia politik. Bayangkan jika seluruh proses pencalonan disederhanakan menjadi uji ambang pintu. Tak ada lagi hitung-hitungan rumit yang hanya bisa dimengerti oleh segelintir elit. Semua jadi lebih transparan, lebih jujur, dan tentunya lebih mudah dipahami oleh siapa saja. Melalui ambang pintu, semua calon diuji kemampuan dasar mereka - apakah mereka bisa melangkah dengan mantap, atau justru tersandung di pintu masuk.
Dan kalau ada yang berpikir bahwa ambang pintu terlalu sederhana, mungkin justru di situlah letak kelebihannya. Kesederhanaan ini membuka ruang untuk melihat siapa yang benar-benar siap menghadapi tantangan nyata. Tidak ada ruang untuk berpura-pura. Tidak ada tempat untuk menyembunyikan ketidakmampuan di balik angka-angka atau retorika. Siapa yang bisa melewati pintu dengan lancar, berarti siap menghadapi apa pun yang ada di balik pintu tersebut.
Ambang pintu juga memiliki kejujuran yang tak tertandingi. Tak ada yang bisa memanipulasi pintu. Tak ada yang bisa menyogok gravitasi agar membiarkannya lewat dengan mudah. Apa yang terlihat, itulah kenyataannya. Dan jika seorang calon tersandung, itu pertanda jelas bahwa ada yang perlu diperbaiki—entah itu kesiapan mental, fisik, atau mungkin sekadar keterampilan dasar berjalan.
Ambang pintu juga lebih demokratis. Semua orang, dari rakyat biasa hingga politisi kawakan, tahu bagaimana cara melewati pintu. Tak ada yang bisa berdalih atau mencari celah hukum untuk menghindar. Semua harus berhadapan dengan pintu yang sama, ambang yang sama, tantangan yang sama. Dalam demokrasi yang ideal, di mana semua orang harusnya diperlakukan sama, bukankah ini justru lebih adil?
Jadi, mengapa repot-repot dengan ambang batas pencalonan yang rumit dan penuh intrik? Mungkin sudah saatnya untuk kembali ke sesuatu yang lebih sederhana, lebih nyata, dan lebih jujur: ambang pintu. Sebuah simbol yang lebih mudah dipahami, lebih sulit untuk dimanipulasi, dan pastinya lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ini tidak hanya akan menyederhanakan proses pencalonan, tetapi juga membawa sedikit hiburan dan keanggunan ke dalam politik yang kadang terlalu serius. Siapa tahu, dengan ambang pintu, kita bisa menemukan pemimpin yang tidak hanya kuat secara politik, tetapi juga anggun dalam berjalan dan melangkah.
Makassar, 21 Agustus 2024