Oleh: Herman (KOPEL Indonesia)
Pelantikan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan hasil Pemilu 2024 dijadwalkan akan dilaksanakan esok hari Selasa, 24 September 2024. Acara pelantikan ini akan menjadi momen bersejarah bagi 85 wakil rakyat terpilih yang akan mengemban amanah untuk lima tahun ke depan. Pelantikan ini sekaligus menandai dimulainya era baru dalam perjalanan politik Sulawesi Selatan, di mana para anggota DPRD yang terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda, akan memainkan peran strategis dalam menentukan arah kebijakan daerah ke depan.
Besok, mata seluruh masyarakat Sulawesi Selatan akan tertuju pada gedung DPRD, tempat pelantikan dilangsungkan, dengan harapan bahwa para legislator yang terpilih bukan hanya sekadar simbol demokrasi, tetapi juga agen perubahan yang nyata.
Sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia, Sulawesi Selatan memiliki tantangan kompleks dalam sektor pembangunan, kesejahteraan sosial, dan stabilitas politik. Para wakil rakyat yang akan dilantik diharapkan mampu membawa perubahan signifikan, dengan visi dan komitmen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Masyarakat Sulawesi Selatan pun menaruh harapan besar pada para legislator baru ini agar mampu menjalankan fungsi dan tugas-tugas sebagai wakil rakyat.
Pemilu 2024 di Provinsi Sulawesi Selatan memberikan hasil yang mencerminkan dua kekuatan dominan dalam struktur di DPRD yakni kehadiran signifikan mantan anggota DPRD (59%) yakni incumbent (38%) dan mantan anggota DPRD kabupaten/kota (21%), yang berpadu dengan dominasi kalangan pengusaha/swasta (31%). Fenomena ini mengundang pertanyaan seputar bagaimana dominasi kedua kelompok ini mempengaruhi kualitas krbijakan dan dinamika politik di Sulsel. Apakah dominasi ini akan memperkuat efektivitas pemerintahan, atau justru memperkuat politik kartel dan konflik kepentingan dalam pengambilan kebijakan?
Kehadiran incumbent dan mantan anggota DPRD kabupaten/kota yang naik kelas ke DPRD Sulsel bisa dipandang dari dua sisi. Di satu sisi, mereka membawa pengalaman politik dan birokrasi yang kuat. Sebagai figur yang telah bertahun-tahun berkiprah di DPRD, mereka memahami seluk-beluk proses legislasi, pengawasan anggaran, serta tata kelola pemerintahan. Pengalaman ini penting dalam menjaga kontinuitas kebijakan dan stabilitas politik daerah. Mantan anggota DPRD kabupaten/kota juga membawa pengetahuan spesifik tentang masalah di kabupaten/kota yang dapat memperkuat pendekatan holistik dalam kebijakan provinsi.
Namun, di sisi lain, dominasi figur-figur lama ini menandakan kurangnya regenerasi politik yang segar. Banyak dari mereka yang terpilih kembali didukung oleh jaringan patronase politik yang kuat, memperkuat oligarki lokal. Dengan dominannya kehadiran figur lama, ruang untuk tokoh-tokoh muda atau dari kalangan profesional menjadi semakin sempit. Padahal, keterlibatan lebih banyak aktor baru bisa membawa perspektif baru yang inovatif dalam merespons tantangan-tantangan baru di era modern seperti ekonomi digital, ketahanan iklim, dan pemerataan pembangunan.
Di saat yang sama, dominasi kalangan pengusaha di DPRD Sulsel memperkenalkan dinamika lain yang tak kalah kompleks. Sekitar 31% anggota DPRD terpilih berasal dari pengusaha atau swasta, suatu fenomena yang mencerminkan semakin menguatnya peran modal ekonomi dalam politik. Pengusaha sering kali memiliki kemampuan finansial yang besar, yang memudahkan mereka dalam mengamankan dukungan partai dan melakukan kampanye yang masif.
Secara teoritis, kehadiran pengusaha dapat memberikan dorongan positif dalam mendorong kebijakan pro-investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan jaringan luas di dunia bisnis, mereka bisa membuka peluang investasi dan menciptakan sinergi antara pemerintah daerah dan sektor swasta. Bagi daerah yang masih berjuang untuk meningkatkan daya saing ekonominya seperti Sulsel, dorongan ini sangat dibutuhkan.
Namun, ada bahaya laten yang mengintai di balik dominasi pengusaha ini, yakni potensi konflik kepentingan. Dengan begitu banyak pengusaha yang duduk di kursi DPRD, ada risiko bahwa kebijakan yang diambil lebih menguntungkan sektor swasta daripada kepentingan publik secara luas. Misalnya, legislasi terkait izin usaha, alokasi anggaran pembangunan, atau kebijakan sektor pertanahan bisa saja lebih berpihak pada elite bisnis daripada masyarakat kecil. Ini cukup mengkhawatirkan terutama di sektor-sektor strategis seperti pertanian dan lingkungan, dimana kepentingan masyarakat sering kali berhadapan dengan ambisi ekspansi bisnis.
Pertemuan Dua Dominasi, Politik dan Modal
Pertemuan dominasi incumbent dan pengusaha dalam DPRD Sulsel berpotensi menciptakan kolusi kekuasaan yang memperkuat politik kartel. Incumbent, yang sudah lama memiliki kontrol terhadap struktur politik, dan pengusaha dengan kekuatan modal yang mereka bawa, bisa saja membangun aliansi strategis untuk mempertahankan status quo. Jika kekuatan politik lama dan modal ekonomi bersatu, ini bisa mempersulit lahirnya kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak. Keputusan-keputusan politik akan lebih terfokus pada menjaga kepentingan elite dibandingkan dengan menjalankan fungsi wakil rakyat secara independen dan akuntabel.
Contoh nyata dari aliansi ini bisa terlihat dalam kebijakan anggaran daerah. Pengusaha mungkin saja mendorong proyek-proyek infrastruktur yang menguntungkan bisnis mereka, sementara anggota incumbent dapat menggunakan kontrol atas distribusi anggaran untuk memperkuat patronase politik mereka. Keduanya, melalui simbiosis mutualisme ini, bisa mempersempit ruang partisipasi publik dan merusak proses check and balance yang seharusnya ada dalam sistem demokrasi.
Tantangan ke Depan, Membuka Ruang Inklusivitas
Untuk mengatasi dominasi ini, penting bagi partai politik dan masyarakat untuk mendorong regenerasi dan keterbukaan dalam proses pemilihan. Partai harus memastikan bahwa kaderisasi politik tidak hanya berfokus pada kekuatan finansial dan jaringan politik, tetapi juga pada kompetensi, integritas, dan visi kebijakan yang progresif. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja DPRD harus diperkuat, dengan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam setiap pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut proyek-proyek besar atau kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Kesimpulannya, dominasi incumbent dan pengusaha di DPRD Sulsel mencerminkan tantangan serius dalam upaya menciptakan DPRD yang inklusif dan berpihak pada kepentingan publik. Pengalaman politik dan kekuatan ekonomi, dominasi keduanya bisa menjadi penghalang terhadap demokrasi yang sehat jika tidak diimbangi dengan keterbukaan dan akuntabilitas. Tantangan ke depan adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antar aktor-aktor politik di DPRD, agar DPRD Sulsel tidak hanya menjadi arena bagi elite, tetapi juga lembaga yang benar-benar representatif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh lapisan masyarakat.